Sunday, April 5, 2020

ASUHAN KEPERAWATAN COVID 19


1.    PENGERTIAN COVID 19.
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. dua jenis corona virus yaitu Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui (Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
2.    TANDA DAN GEJALA.
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
3.    PATHOFISIOLOGI.
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. siklus Coronavirus dimjlai saat terjadi penempelan dan masuknya virus ke sel host dengan perantara protein S (Yuliana, 2020). Protein S berikatan dengan enzim ACE-2 (angiotensinconverting enzyme 2) sebagai reseptor di sel host (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020). Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Fehr & Perlman, 2015).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020).
4.    Triage
Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 3.1) (Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Uncomplicated
illness
Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas
Pneumonia ringan
Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan, =60x/menit; 2–11 bulan, =50x/menit; 1–5 tahun, =40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.
Pneumonia berat / ISPA berat
Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya. satu dari berikut ini:
Ø  sianosis sentral atau SpO2 <90%;
Ø  distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat);
Ø  tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan.
=60x/menit; 2–11 bulan, =50x/menit; 1–5 tahun, =40x/menit;>5 tahun,
=30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang dapat
menyingkirkan komplikasi.
Acute Respiratory
Distress
Syndrome
(ARDS)

Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.
Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko.
Kriteria ARDS pada dewasa:
Ø  ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 = 300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) =5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Ø  ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 =200 mmHg dengan PEEP =5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Ø  ARDS berat: PaO2 / FiO2 = 100 mmHg dengan PEEP =5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi).
Ø  Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 =315 mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi).
Kriteria ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation Index dan
Oxygenatin Index menggunakan SpO2:
Ø  PaO2 / FiO2 = 300 mmHg atau SpO2 / FiO2 =264: Bilevel noninvasive ventilation (NIV) atau CPAP =5 cmH2O dengan menggunakan full face mask.
Ø  ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 = Oxygenation Index (OI) <8 atau 5 = OSI <7,5.
Ø  ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 = OI <16 atau 7,5 = OSI <12,3.
Ø  ARDS berat (ventilasi invasif): OI = 16 atau OSI = 12,3
Sepsis
Pasien dewasa: Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi*.
Tanda disfungsi organ meliputi: perubahan status mental/kesadaran, sesak napas, saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau tekanan darah rendah,
ptekie/purpura/mottled skin, atau hasil laboratorium menunjukkan koagulopati, trombositopenia, asidosis, laktat yang tinggi, hiperbilirubinemia.
Pasien anak: terhadap dugaan atau terbukti infeksi dan kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) =2, dan disertai salah satu dari: suhu tubuh abnormal atau jumlah sel darah putih abnormal.
Syok septik
Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) =65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.

5.    TATALAKSANA
Implementasi pencegahan dan pengendalian Infeksi di rumah sakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020).
Triase
1.    Masker medis untuk pasien suspek.
2.    Ruang isolasi atau area terpisah.
3.    Jarak minimal 1 meter dari pasien lain.
4.    Ajari etika batuk dan bersin.
5.    Hand hygiene
Kewaspadaan Pencegahan
transmisi droplet
1.    Gunakan masker medis jika bekerja dalam 1-2 meter dari pasien.
2.    Satu ruang khusus atau disatukan dengan etiologi yang sama.
3.    Jika etiologi tidak pasti, satu group pasien dengan diagnosis klinis sama dan risiko epidemiologi sama, dengan pemisahan spasial.
4.    Gunakan pelindung mata jika menangani dekat pasien.
5.    Batasi aktivitas paesien keluar ruangan
Kewaspadaan Pencegahan
kontak
Mencegah dari area atau peralatan yang
terkontaminasi
1.    Gunakan APD lengkap, dan lepas jika keluar.
2.    Jika memungkinkan gubakan alat sekali pakai contoh stetoskop, termometer.
3.    Hindari mengkontaminasi daerah yang tidak secara langsung terkait perawatan pasien seperti gagang pintu.
4.    Ventilasi ruangan adekuat.
5.    Hand hygiene.
6.    Hindari pemindahan pasien.
Kewaspadaan pencegahan
airborne ketika melakukan
prosedur alat saluran napas
Seperti: suction, intubasi, bronkoskopi, RJP.
1.    APD lengkap mencakup sarung tangan, jubah, pelindung mata, masker N95.
2.    Gunakan ruangan ventilasi tunggal jika memungkinkan , ruangan tekanan negatif.
3.    Hindari keberadaan individu yang tidak dibutuhkan.
4.    Setelah tindakan tatalaksana sesuai dengan tipe ruangannya.

A.    Terapi Suportif Dini dan Pemantauan (Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
a.    Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
Ø  Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 =90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 = 92%-95% pada pasien hamil.
Ø  Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2 =94%;
Ø  Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
Ø  Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.
b.    Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.
c.    Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
d.    Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
e.    Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.
f.     Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.
g.    Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian dengan fisiologi kehamilan.
Persalinan darurat dan terminasi kehamilan menjadi tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.
B.    Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS (World Health Organization, 2020).
a.    Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar.
Pasien dapat mengalami peningkatan pernapasan walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup dengan kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
b.    Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
Ø  Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
Ø  Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS dan pandemi influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV. Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
Ø  Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien ekspirasi.
c.    Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne.
Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
d.    Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.
1)    Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60].
2)    Pilih mode ventilasi mekanik.
3)    Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8 ml/kg PBW.
4)    Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu = 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
5)    Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit).
6)    Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan tekanan plateau.
Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol ventilasi mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau-PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.
e.    Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone position > 12 jam per hari.
Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
f.     Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.
g.    Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah.
Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.
h.    Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
i.      Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
j.      Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).

6.    MANAJEMEN KEPERAWATAN.
A.    PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian pasien yang diduga COVID-19 harus mencakup :
a.       Sejarah perjalanan. Penyedia layanan kesehatan harus mendapatkan riwayat perjalanan yang terperinci untuk pasien yang dievaluasi dengan demam dan penyakit pernapasan akut.
b.      Pemeriksaan fisik. Pasien yang mengalami demam, batuk, dan sesak napas dan yang telah melakukan perjalanan ke daerah dengan kasus COVID 19 posistif baru-baru ini harus ditempatkan di ruang isolasi segera (isolasi mandiri maupun isolasi di rumah sakit).
B.    DIAGNOSIS.
Berdasarkan data penilaian, diagnosis keperawatan utama untuk pasien dengan COVID-19 adalah :
a.       Infeksi yang berhubungan dengan kegagalan untuk menghindari patogen akibat paparan COVID-19.
b.      Pengetahuan yang kurang terkait dengan ketidaktahuan dengan informasi penularan penyakit.
c.       Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme.
d.      Gangguan pola pernapasan terkait dengan sesak napas.
e.       Kecemasan terkait dengan etiologi penyakit yang tidak diketahui.
C.   INTERVENSI.
Intervensi keperawatan disesuaikan diagnosa keperawatan pada penderita COVID-19, di bawah ini di jelaskan beberpa contoh intervensi secara umum pasien dengan konvirmasi covid 19:
a.       Pantau tanda-tanda vital. Pantau suhu pasien; infeksi biasanya dimulai dengan suhu tinggi; pantau juga laju pernapasan pasien karena sesak napas adalah gejala umum lainnya.
b.      Pantau saturasi O2. Pantau saturasi O2 pasien karena gangguan pernapasan dapat menyebabkan hipoksia.
c.       Pertahankan isolasi pernafasan. Simpan tisu di samping tempat tidur pasien; buang sekresi dengan benar; mengintruksikan pasien untuk menutup mulut saat batuk atau bersin; menggunakan masker, dan menyarankan mereka yang memasuki ruangan untuk memakai masker juga; letakkan stiker pernapasan pada bagan, linen, dan sebagainya.
d.      Terapkan kebersihan tangan yang ketat. Ajari pasien dan orang-orang untuk mencuci tangan setelah batuk untuk mengurangi atau mencegah penularan virus.
e.       Kelola hipertermia. Gunakan terapi yang tepat untuk suhu tinggi untuk mempertahankan normotermia dan mengurangi kebutuhan metabolisme.
f.       Berikan penkes pada pasien dan keluarga. Berikan informasi tentang penularan penyakit, pengujian diagnostik, proses penyakit, komplikasi, dan perlindungan dari virus.
D.   EVALUASI
Tujuan keperawatan terpenuhi sebagaimana dibuktikan oleh:
a.       Pasien dapat mencegah penyebaran infeksi yang dibuktikan dengan PHBS dan isolasi pernafasan adekuat.
b.      Pasien dapat belajar lebih banyak tentang penyakit dan penatalaksanaannya.
c.       Pasien mampu meningkatkan level suhu tubuh yang adekuat.
d.      Pasien mampu mengembalikan pola pernapasannya kembali normal.
e.       Pasien tidak terlihat cemas.

Referensi
Fehr, A. R., & Perlman, S. (2015). Chapter 1 Coronaviruses : An Overview of Their Replication and Pathogenesis. Methods in Molecular Biology, 1282(1), 1–23. https://doi.org/10.1007/978-1-4939-2438-7
Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (covid-19) revisi ke-4 1 (4th ed.). Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2020). Pneumonia COVID-19 (1st ed.). Jakarta.
World Health Organization. (2020). Clinical management of severe acute respiratory infection ( SARI ) when COVID-19 disease is suspected Interim guidance, 2019(March), 1–19. Retrieved from https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/clinical-management-of-novel-cov.pdf
Yuliana. (2020). Corona virus diseases (Covid 19) ; Tinjauan Literatur. Wellness and Healthy Magazine, 2(1), 187–192.


0 comments:

Post a Comment