1. PENGERTIAN
COVID 19.
Coronavirus adalah
keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. dua jenis corona virus yaitu Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan
Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan
antara hewan dan manusia). Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19
ini masih belum diketahui (Kemeterian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
2.
TANDA
DAN GEJALA.
Tanda dan gejala umum
infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa
inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi
terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan
pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen
menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemeterian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
3.
PATHOFISIOLOGI.
Coronavirus
hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. siklus Coronavirus dimjlai
saat terjadi penempelan dan masuknya virus ke sel host dengan perantara protein
S (Yuliana,
2020). Protein S berikatan dengan enzim ACE-2
(angiotensinconverting enzyme 2) sebagai reseptor di sel host (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020). Selanjutnya replikasi dan
transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari
kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Fehr
& Perlman, 2015).
Setelah
terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di
sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar
ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran
napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal
setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7
hari (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020).
4. Triage
Infeksi
COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi
dini manifestasi
klinis (tabel 3.1) (Kemeterian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
Uncomplicated
illness
|
Pasien
dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan,
hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada
pada usia lanjut dan imunocompromised
karena gejala dan tanda
tidak khas
|
Pneumonia
ringan
|
Pasien
dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak
dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas +
napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan, =60x/menit; 2–11 bulan,
=50x/menit; 1–5 tahun, =40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.
|
Pneumonia
berat / ISPA berat
|
Pasien
remaja atau dewasa dengan
demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu
dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress
pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara
kamar.
Pasien
anak dengan
batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya. satu dari
berikut ini:
Ø sianosis sentral atau SpO2 <90%;
Ø distres pernapasan berat (seperti
mendengkur, tarikan dinding dada yang berat);
Ø tanda pneumonia berat: ketidakmampuan
menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau
kejang.
Tanda lain
dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan.
=60x/menit;
2–11 bulan, =50x/menit; 1–5 tahun, =40x/menit;>5 tahun,
=30x/menit.
Diagnosis
ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang dapat
menyingkirkan
komplikasi.
|
Acute
Respiratory
Distress
Syndrome
(ARDS)
|
Onset: baru terjadi atau perburukan dalam
waktu satu minggu.
Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi
paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps paru,
kolaps lobus atau nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal
jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan
objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa penyebab edema
bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko.
Kriteria
ARDS pada dewasa:
Ø ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 =
300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) =5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi)
Ø ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2
=200 mmHg dengan PEEP =5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
Ø ARDS berat: PaO2 / FiO2 = 100 mmHg
dengan PEEP =5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi).
Ø Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2
=315 mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi).
Kriteria
ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation Index dan
Oxygenatin
Index menggunakan
SpO2:
Ø PaO2 / FiO2 = 300 mmHg atau SpO2 / FiO2
=264: Bilevel noninvasive ventilation (NIV) atau
CPAP =5 cmH2O dengan menggunakan full face mask.
Ø ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 = Oxygenation
Index (OI) <8 atau 5 = OSI
<7,5.
Ø ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 = OI
<16 atau 7,5 = OSI <12,3.
Ø ARDS berat (ventilasi invasif): OI = 16
atau OSI = 12,3
|
Sepsis
|
Pasien dewasa: Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan oleh
disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi*.
Tanda
disfungsi organ meliputi: perubahan status mental/kesadaran, sesak
napas, saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut jantung
cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau tekanan darah rendah,
ptekie/purpura/mottled skin, atau hasil laboratorium menunjukkan koagulopati,
trombositopenia, asidosis, laktat yang tinggi, hiperbilirubinemia.
Pasien anak: terhadap dugaan atau terbukti infeksi
dan kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) =2, dan disertai salah satu
dari: suhu tubuh abnormal atau jumlah sel
darah putih abnormal.
|
Syok
septik
|
Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah
dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan
vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) =65 mmHg dan kadar laktat
serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau
>2 SD di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan
tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia
(HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit
atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang
memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam
petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.
|
5. TATALAKSANA
Implementasi pencegahan dan pengendalian
Infeksi di rumah sakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI), 2020).
Triase
|
1.
Masker medis untuk pasien suspek.
2.
Ruang isolasi atau area terpisah.
3.
Jarak minimal 1 meter dari pasien
lain.
4.
Ajari etika batuk dan bersin.
5.
Hand hygiene
|
Kewaspadaan Pencegahan
transmisi
droplet
|
1.
Gunakan masker medis jika bekerja
dalam 1-2 meter dari pasien.
2.
Satu ruang khusus atau disatukan
dengan etiologi yang sama.
3.
Jika etiologi tidak pasti, satu
group pasien dengan diagnosis klinis sama dan risiko
epidemiologi sama, dengan pemisahan spasial.
4.
Gunakan pelindung mata jika
menangani dekat pasien.
5.
Batasi aktivitas paesien keluar
ruangan
|
Kewaspadaan Pencegahan
kontak
|
Mencegah dari area atau peralatan
yang
terkontaminasi
1. Gunakan
APD lengkap, dan lepas jika keluar.
2.
Jika memungkinkan gubakan alat
sekali pakai contoh stetoskop, termometer.
3.
Hindari mengkontaminasi daerah yang
tidak secara langsung terkait perawatan
pasien seperti gagang pintu.
4.
Ventilasi ruangan adekuat.
5.
Hand hygiene.
6.
Hindari pemindahan pasien.
|
Kewaspadaan pencegahan
airborne
ketika melakukan
prosedur
alat saluran napas
|
Seperti: suction, intubasi,
bronkoskopi, RJP.
1.
APD lengkap mencakup sarung tangan,
jubah, pelindung mata, masker N95.
2.
Gunakan ruangan ventilasi tunggal
jika memungkinkan , ruangan tekanan
negatif.
3.
Hindari keberadaan individu yang
tidak dibutuhkan.
4.
Setelah tindakan tatalaksana sesuai
dengan tipe ruangannya.
|
A. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan (Kemeterian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
a. Berikan terapi suplementasi oksigen
segera pada pasien ISPA berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau
syok.
Ø Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5
L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2
=90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 = 92%-95%
pada pasien hamil.
Ø Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi
napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis
sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan
terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2 =94%;
Ø Semua pasien dengan ISPA berat dipantau
menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan
baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul,
sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus
digunakan sekali pakai.
Ø Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang
alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul,
sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang
terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.
b. Gunakan manajemen cairan konservatif pada
pasien dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati
dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif
dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan
ketersediaan ventilasi mekanik.
c. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan
kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan
COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu
1 jam.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan
diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau
sepsis), epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi
empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
d. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik
secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau
ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik
kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada
pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi
oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan
replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid
harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
e. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan
gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis
dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.
f. Pahami pasien yang memiliki komorbid
untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus
dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi
secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan
dan informasi prognostik.
g. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan
terapi suportif dan penyesuaian dengan fisiologi kehamilan.
Persalinan darurat dan terminasi
kehamilan menjadi tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan
beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu
dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.
B. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS (World Health Organization, 2020).
a. Mengenali gagal napas hipoksemi ketika
pasien dengan distress pernapasan mengalami kegagalan terapi
oksigen standar.
Pasien dapat mengalami peningkatan pernapasan
walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup dengan kantong reservoir
(10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan
kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi pada ARDS
terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan biasanya membutuhkan
ventilasi mekanik.
b. Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi
non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu,
dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan
klinis.
Ø Sistem HFNO dapat memberikan aliran
oksigen 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya
hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit
dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan
terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan
intubasi. Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif,
edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal
multi-organ, atau penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO,
meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada
pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien
dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan
berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1
jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman
berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan
tentang HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
Ø Penggunaan NIV tidak direkomendasikan
pada gagal napas hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal
napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik (merujuk pada
studi SARS dan pandemi influenza). Karena hal ini menyebabkan
keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan
injuri parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun
terbatas menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS
mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak
stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan
NIV. Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih
dan berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena
bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan
(dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
Ø Publikasi terbaru menunjukkan bahwa
sistem HFNO dan NIV yang menggunakan interface yang sesuai dengan
wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi risiko
transmisi airborne
ketika pasien ekspirasi.
c. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh
petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan
kewaspadaan transmisi airborne.
Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil,
obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama
intubasi. Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi
Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve
mask, HFNO atau NIV dan
kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
d. Ventilasi mekanik menggunakan volume
tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah
(tekanan plateau
<30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS
dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak
memenuhi kriteria ARDS.
1) Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi
badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60].
2) Pilih mode ventilasi mekanik.
3) Atur ventilasi mekanik untuk mencapai
tidal volume awal = 8 ml/kg PBW.
4) Kurangi tidal volume awal secara bertahap
1 ml/kg dalam waktu = 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
5) Atur laju napas untuk mencapai ventilasi
semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit).
6) Atur tidal volume dan laju napas untuk
mencapai target pH dan tekanan plateau.
Hipercapnia diperbolehkan jika pH
7,30-7,45. Protokol ventilasi mekanik harus tersedia.
Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai
target volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat
menggunakan tekanan driving
yang tinggi (tekanan plateau-PEEP)
di bandingkan dengan volume tidal
atau tekanan plateau
yang tinggi.
e. Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi
dengan prone
position > 12 jam per
hari.
Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan
anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan
keahlian yang cukup.
f. Manajemen cairan konservatif untuk pasien
ARDS tanpa hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena
dapat mempersingkat penggunaan ventilator.
g. Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat
disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP
rendah.
Titrasi PEEP diperlukan dengan
mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen
alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang
menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih
tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan
untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang
tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan
manfaat dan risiko.
h. Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2
<150) tidak dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
i. Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support (ECLS),
dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan
pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung
protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan
penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian
bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
j. Hindari terputusnya hubungan ventilasi
mekanik dengan pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan
atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika
terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien
(misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).
6. MANAJEMEN KEPERAWATAN.
A.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian
pasien yang diduga COVID-19 harus mencakup :
a.
Sejarah
perjalanan. Penyedia layanan kesehatan harus mendapatkan riwayat perjalanan
yang terperinci untuk pasien yang dievaluasi dengan demam dan penyakit
pernapasan akut.
b.
Pemeriksaan
fisik. Pasien yang mengalami demam, batuk, dan sesak napas dan yang telah
melakukan perjalanan ke daerah dengan kasus COVID 19 posistif baru-baru ini
harus ditempatkan di ruang isolasi segera (isolasi mandiri maupun isolasi di
rumah sakit).
B.
DIAGNOSIS.
Berdasarkan
data penilaian, diagnosis keperawatan utama untuk pasien dengan COVID-19 adalah
:
a.
Infeksi
yang berhubungan dengan kegagalan untuk menghindari patogen akibat paparan
COVID-19.
b.
Pengetahuan
yang kurang terkait dengan ketidaktahuan dengan informasi penularan penyakit.
c.
Hipertermia
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme.
d.
Gangguan
pola pernapasan terkait dengan sesak napas.
e.
Kecemasan
terkait dengan etiologi penyakit yang tidak diketahui.
C.
INTERVENSI.
Intervensi
keperawatan disesuaikan diagnosa keperawatan pada penderita COVID-19, di bawah
ini di jelaskan beberpa contoh intervensi secara umum pasien dengan konvirmasi
covid 19:
a.
Pantau
tanda-tanda vital. Pantau suhu pasien; infeksi biasanya dimulai dengan suhu
tinggi; pantau juga laju pernapasan pasien karena sesak napas adalah gejala
umum lainnya.
b.
Pantau
saturasi O2. Pantau saturasi O2 pasien karena gangguan pernapasan dapat
menyebabkan hipoksia.
c.
Pertahankan
isolasi pernafasan. Simpan tisu di samping tempat tidur pasien; buang sekresi
dengan benar; mengintruksikan pasien untuk menutup mulut saat batuk atau
bersin; menggunakan masker, dan menyarankan mereka yang memasuki ruangan untuk
memakai masker juga; letakkan stiker pernapasan pada bagan, linen, dan
sebagainya.
d.
Terapkan
kebersihan tangan yang ketat. Ajari pasien dan orang-orang untuk mencuci tangan
setelah batuk untuk mengurangi atau mencegah penularan virus.
e.
Kelola
hipertermia. Gunakan terapi yang tepat untuk suhu tinggi untuk mempertahankan
normotermia dan mengurangi kebutuhan metabolisme.
f.
Berikan
penkes pada pasien dan keluarga. Berikan informasi tentang penularan penyakit,
pengujian diagnostik, proses penyakit, komplikasi, dan perlindungan dari virus.
D.
EVALUASI
Tujuan
keperawatan terpenuhi sebagaimana dibuktikan oleh:
a.
Pasien
dapat mencegah penyebaran infeksi yang dibuktikan dengan PHBS dan isolasi
pernafasan adekuat.
b.
Pasien
dapat belajar lebih banyak tentang penyakit dan penatalaksanaannya.
c.
Pasien
mampu meningkatkan level suhu tubuh yang adekuat.
d.
Pasien
mampu mengembalikan pola pernapasannya kembali normal.
e.
Pasien
tidak terlihat cemas.
Referensi
Fehr, A. R., & Perlman, S. (2015). Chapter 1
Coronaviruses : An Overview of Their Replication and Pathogenesis. Methods
in Molecular Biology, 1282(1), 1–23.
https://doi.org/10.1007/978-1-4939-2438-7
Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman
pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (covid-19) revisi ke-4 1
(4th ed.). Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2020). Pneumonia
COVID-19 (1st ed.). Jakarta.
World Health Organization. (2020). Clinical management of
severe acute respiratory infection ( SARI ) when COVID-19 disease is suspected
Interim guidance, 2019(March), 1–19. Retrieved from
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/clinical-management-of-novel-cov.pdf
Yuliana. (2020). Corona virus diseases (Covid 19) ; Tinjauan
Literatur. Wellness and Healthy Magazine, 2(1), 187–192.
0 comments:
Post a Comment