Sunday, April 19, 2020

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL DENGAN HEMODIALISA



A.    Skenario
FF, pria berusia 58 tahun dengan diabetes mellitus tipe 2, datang ke unit gawat darurat (ED) dengan nyeri hebat pada panggul kanan dan abdomen disertai mual dan muntah (N/V). Perut teraba lunak. Panggul kanan terasa lembut untuk disentuh dan palpasi. Tanda vital (VS) adalah 142/80 mmHg, 88 x/menit , 20 x/menit, 99° F (37,2° C). Urinalisis menunjukkan adanya hematuria. Diberikan cairan intravena normal saline 0,9% dengan kecepatan aliran 125 ml/jam melalui infus pump. Intravenous Pyelogram (IVP) mengkonfirmasi diagnosa adanya batu jenis staghorn pada pelvis ginjal sebelah kanan.  Ginjal kanan nampak membesar. FF menyatakan bahwa tidurnya tidak nyenyak semalam dan belum makan banyak hari ini. Klien terlihat lelah. Hasil laboratoriumnya tercantum di bawah ini. Berat badan FF 277 pound.
Hasil Uji Laboratorium
Sodium
Potassium                               
Chloride
Carbon dioxide                                  
BUN                                      
Creatinine                               
Glucose                                              
Uric acid                                
Calcium                      
Phosphorus                                         
Total protein                           
Albumin                                             
Total bilirubin                         
Direct bilirubin                                   
Cholesterol                                         
 Alk phos (ALP)
LDH                                                   
ALT (SGPT)                                      
AST (SGOT)                          
Amylase
144 mEq/L
4.0 mEq/L
101 mEq/L
26 mEq/L
30 mg/dL
3.6 mg/dL
260 mg/dL
5.0 mg/dL
9.0 mg/L
3.2 mg/dL
7.8 g/dL
4.0 g/dL
0.3 mg/dL
0.1 mg/dL
200 mg/dL
61 units/L
100 units/L
13 units/L
38 units/L
98 units/L

1.      Kaji hasil pemeriksaan laboratorium FF, apa saja yang perlu diperhatikan ?
Dari hasil pemeriksaan laboratorium FF dapat diidentifikasi ada beberapa yang hasilnya perlu diperhatikan yaitu :
a.       Kreatinin 3,6 mg/dL sedangkan nilai normalnya 0,5-1,5 mg/dL
b.      Glukosa 260 mg/dL  sedangkan nilai normalnya 70-200 mg/dL
c.       LDH total 100 units/L sedangkan nilai normalnya 240-480 units/L
d.      AST (SGOT) 38 units/L sedangkan nilai normalnya <37 units/L
Dengan keabnormalan tersebut dapat diketahui ada gangguan pada ginjal yang ditunjukkan oleh perubahan kreatinin, sistem endokrin dilihat dari fungsi hati serta hasil pemeriksaan glukosa, LDH total, dan AST (SGOT).

2.      Jelaskan hubungan antara tingkat kreatinin dan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan perkiraan fungsi ginjal !
Diketahui bahwa aliran darah menuju ginjal menentukan GFR dimana darah akan difiltrasi di nefron, bila GFR menurun maka akan terlihat peningkatan Ureum dan Kreatinin dalam darah karena tidak dapat terfiltrasi di nefron (Black & Hawks, 2014) Hal ini didukung oleh yang dipaparkan oleh Smeltzer & Bare (2002) bahwa kreatinin yang merupakan produk limbah endogen dari otot skeletal, diekskresikan oleh filtrasi glomerulus, dan klirens kreatinin merupakan cara mengukur GFR yang baik karena memberikan nilai rata-rata kecepatan GFR (normalnya 100-120 ml/menit/1,73 m2) yang merupakan indikator peka untuk penyakit ginjal dini sedangkan kreatinin serum mencerminkan keseimbangan produksi dan filtrasi glomerulus. Karena klirens kreatinin dapat digunakan dalam mengetahui GFR dan fungsi dasar ginjal seperti filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus maka dapat dijelaskan bila GFR turun sebanyak 50%, ginjal akan memfiltrasi dan ekskresi setengah dari jumlah kreatinin sehingga kreatinin terakumulasi dalam cairan tubuh dan meningkatkan konsentrasi plasma, dan apabila GFR turun ¼ dari normal maka kreatinin plasma akan meningkat hingga 4 kali normal, oleh karena itu jumlah kreatinin yang menumpuk hampir sebanding dengan jumlah nefron yang rusak (Guyton & Hall, 2008). Penurunan GFR mencapai 30% dalam waktu 2 tahun mengindikasikan gagal ginjal (Coresh et al., 2014). Tapi apabila pemeriksaan serum kreatinin dikombinasikan dengan cystatin C maka hasil dalam memprediksi gagal ginjal akan lebih akurat (Inker et al., 2012).
3.      Nyeri yang dirasakan FF diatasi dengan pemberian morfin saat di UGD. Sudah sangat sore sebelum klien dirawat unit Anda, dan klien dijadwalkan untuk litotripsi di pagi hari. Prioritas apa yang spesifik dilakukan untuk FF ?
Tindakan Lithotripsy merupakan prosedur medis menggunakan gelombang kejut dalam pengobatan batu ginjal dengan cara memecah batu menjadi serpihan kecil yang selanjutnya akan dikeluarkan bersama urine pada saat berkemih (DiGuilio, Jackson, & Keogh, 2014). Tingkat keberhasilan memecah batu pada area sekitar ureter mencapai 82% (Khoder, Bader, Sroka, Stief, & Waidelich, 2014). Dalam persiapannya, perawat perlu :
a.       Mengkaji riwayat penyakit klien terutama obat-obatan yang telah dikonsumsi untuk mengantisipasi penggunaan obat pengencer darah seperti aspirin, ibuprofen, dan warfarin yang dapat memperlama proses pembekuan darah.
b.      Mengedukasi klien mengenai kondisinya yang sesungguhnya, rencana kedepan, dan melaksanakan informed contsent. Menjelaskan bahwa adanya batu pada ginjal dapat menyebabkan nyeri, obstruksi saat berkemih, infeksi dan gagal ginjal (Pearle, 2012).
c.       Memastikan klien berpuasa + 6 jam sebelum prosedur dilakukan,
d.      Memantau hasil laboratorium terkait Hb untuk rencana transfusi bila diperlukan dan PT APTT terkait pembekuan darah.
4.      Masalah apa yang mungkin terjadi akibat batu staghorn?
Adanya batu menyebabkan terjadinya gangguan sistemik pada tubuh, bisa saja batu tersebut yang menyebabkan penyakit atau penyakit tersebut yang menyebabkan adanya batu (Pearle et al., 2014). Batu ginjal ditandai dengan adanya kristal dalam urine yang bisa terbentuk dari kalsium, asam urat, cystine, dan struvit (DiGuilio, Jackson, & Keogh, 2014). Batu staghorn sendiri dimaksudkan untuk merujuk batu pada pielum ginjal yang mengisi beberapa kaliks, dan masalah keperawatan yang dapat terjadi di antaranya :
a.       Nyeri akut
b.      Resiko kelebihan volume cairan
c.       Mual dan muntah
d.      Resiko infeksi
5.      Dokter telah menginstruksikan pemberian gentamicin (Garamycin) 6 mg/kg/hari melalui intravena piggyback/8 jam. Hitunglah dosis gentamisin untuk FF. Apakah mengkhawatirkan ?
Perhitungan dosis gentamicin pada klien FF adalah sebagai berikut :
Berat badan klien 277 pounds = 125,645 Kg
Diresepkan pemberian 6 mg/KgBB/hari artinya 6 mg x 125,645 Kg sehingga hasilnya 753,87 mg/hari, bila diberikan tiap 8 jam maka dosis yang diperoleh adalah 753,87 dibagi 8 diperoleh hasil 94 mg/8 jam/piggyback.
Dosis gentamicin untuk pasien tanpa penyakit penyerta adalah 2-5 mg/KgBB/hari yang bila dikalkulasi akan diperoleh batasan 250-630 mg/hari dan bila diberikan tiap 8 jam menjadi 30-80 mg/8 jam. Itu adalah dosis normal dan tidak patut diaplikasikan bagi penderita penyakit ginjal karena gentamicin bersifat nefrotoksik sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis 6 mg/kgBB/Hari yang diresepkan dokter adalah tidak tepat atau mengkhawatirkan karena lebih besar dari dosis pemberian normal.
6.      Bagaimana cara mengemukakan kekhawatiran tentang dosis gentamisin ini?
Ungkapkanlah bahwa dengan merujuk hasil pemeriksaan laboratorium klien FF maka ditemukan peningkatan nilai pada kreatinin yang mengindikasikan adanya gangguan pada ginjal. Gentamicin merupakan salah satu jenis obat aminoglikosida yang merupakan nefrotoksik (Black & Hawks, 2014). Sehingga dosis pemberian sebaiknya diminimalisir karena dapat merusak ginjal dan menyebabkan keracunan. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Negrette-Guzmán et al., (2013) dalam animal studynya mengenai gentamicin, dimana gentamicin memang telah banyak digunakan untuk bakteri gram negatif namun bersifat nefrotoksik. Gentamicin menyebabkan kerusakan pada korteks ginjal karena proses lipid perioxidation dan protein perioxidation (Tavafi, 2012). Namun cathecin hydrate berpotensi sebagai neproprotective (Sardana, Kalra, Khanna, & Balakumar, 2015). Dipaparkan dalam Tavafi (2013) bahwa mekanisme patologis dari nefrotoksik akibat gentamicin adalah terpacunya oxidative stress, apoptosis, nekrosis, regulasi growth factor B, elevasi endotelin I, peningkatan monosit, dan peningkatan ion sodium intraselular.
7.      Dokter mengurangi dosis gentamisin menjadi 1 mg/kg/12 jam dan meminta pemeriksaan kadar kreatinin dan BUN harian setelah pemberian gentamicin hari ke 2. Saat mengelola dosis gentamicin IVPB, tanda toksisitas apa yang perlu dipantau? (Pilih)
a.       Tinnitus : klien beresiko mengalami gangguan pendengaran karena nefrotoksik juga mempengaruhi kerja neurotransmitter.
b.      Sakit kepala : juga dapat terjadi karena jenis obat aminoglikosida juga merupakan neurotoksik (Black & Hawks, 2014).
c.       Pusing : dapat terjadi terkait dengan gangguan neuro nervus ke delapan yaitu vestibulokoklearis.
B.     Case Study Progress
Kemudian, saat berjalan melewati tempat tidur FF, terlihat klien meringkuk di ujung tempat tidur.
1.      Apa yang akan dilakukan? STU
Sebaiknya mengkonfirmasi dan mengkaji keluhan yang dirasakan oleh klien, atau memperhatikan dosis analgesik((dalam hal ini morfin yang telah diberikan saat di UGD), mengevaluasi efek pemberian gentamicin, dan memvalidasi perasaan klien sebelum tindakan lithotripsy.
Anda menyampaikan pada FF bahwa radiologi menelepon dan memberitahukan bahwa prosedur lithotripsy dijadwalkan keesokan harinya. Klien memandang Anda dengan panik dan berkata, "Jika itu tidak berhasil, apakah mereka akan melakukan operasi? Saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak memiliki asuransi. Ini saja telah cukup mahal bagi saya.”
     2.      Bagaimana kamu merespon?
          Berusaha menenangkan klien dengan memberi penjelasan akan prosedur tersebut, sejauh mana peluang keberhasilannya dan bagaimana resiko yang mungkin dapat terjadi. Juga menjelaskan persiapan apa yang telah dilakukan untuk mempersiapkan klien agar hasil prosedur tersebut maksimal sembari meminta klien untuk terus berdoa memasrahkan pada Tuhan YME agar dimudahkan dalam proses penyembuhan. Terkait prosedur perlu disampaikan pada klien mengenai rencana tindak lanjut yang harus klien perhatikan menurut Smeltzer & Bare (2002) setelah prosedur yakni :
a.       Patuhi program diet,
b.      Target masukan cairan 3000-4000 ml/hari,
c.       Saat sore agar meminum air dalam jumlah yang cukup sehingga urine pada malam hari tidak pekat,
d.      Hindari aktivitas berat yang menyebabkan berkeringat, suhu panas, dan dehidrasi.


ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
No
Data
Diagnosa Keperawatan
1
a.        Jenis kelamin : laki-laki
b.      Usia 58 tahun
c.       Riwayat kesehatan menderita DM Type II
d.      Berat badan 277 Pound = 125,645 Kg
e.       Nyeri panggul kanan
f.       Mual (+)
g.      Muntah (+)
h.      Palpasi : panggul teraba lunak
i.        Tidur tidak nyenyak
j.        Nafsu makan berkurang
k.      Hasil laboratorium abnormal :
-          Kreatinin : 3,6 mg/dl
-          Glukosa : 260 mg/dl
-          LDH : 100 unit/L
-          AST (SGOT) : 38 unit/L
l.        Hasil urinalisis : Hematuria
m.    IVP (Intravenous Pyelogram) :
-          Batu staghorn pada pelvis ginjal kanan
-          Ginjal kanan nampak membesar

Gangguan eliminasi urine  berhubungan dengan disfungsi ginjal 

A.  Diagnosis, Hasil (NOC), dan Intervensi Keperawatan (NIC)
NO
Diagnosa Keperawatan
NANDA
(Herdman, 2017)
Hasil Yang Dicapai
(NOC)
(Moorhead, Marion, Meridean, 2016)
Intervensi
(NIC)
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2016)
1.
Gangguan eliminasi urine  berhubungan dengan disfungsi ginjal


NOC :
Kriteria hasil fungsi ginjal:
1.       Keluaran urin selama 8 jam meningkat
2.       Terjadi keseimbangan keluaran dan masukan selama 24 jam
3.       Turgor kulit baik
4.       Warna urin normal
5.       pH urine dalan batas normal
NIC :
 Retensi Urine
1.       Lakukan pengkajian lengkap pada sistem perkemihan fokus terhadap incontinensia (output, pola berkemih, fungsi kognitif, masalah saluran perkemihan sebelumnya)
2.       Monitor intake dan output cairan klien
3.       Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
4.       Bantu toileting pada interval yang reguler, sesuai kebutuhan
5.       Lakukan pemasangan kateter sementara jika diperlukan

NOC:
kriteria hasil manajemen nyeri :
1.       Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2.       Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3.       Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4.       Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5.       Tanda vital dalam rentang normal
6.       Tidak mengalami gangguan tidur
NIC:
Managemen Nyeri
1.       Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2.       Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3.       Observasi nonverbal dari ketidaknyamanan
4.       Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyri pasien
5.       Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
6.       Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
7.       Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau
8.       Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
9.       Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
10.    Kurangi faktor presipitasi nyeri
11.    Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12.    Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
13.    Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
14.    Tingkatkan istirahat
15.    Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
16.    Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
NOC :
kriteria hasil kecemasan:
1.       Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2.       Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontrol cemas
3.       Vital sign dalam batas normal
4.       Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkuramgnya kecemasan.

NIC :
Kecemasan
1.       Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
2.       Nyatakan dengan jelas harapan tehadap perilaku klien
3.       Pahami situasi yang sedang di alami klien
4.       Berikan informasi yang faktualterkait diagnosis, perawatan dan prognosis
5.       Dorong keluarga untuk mendampingi dan memberikan dukungan
6.       Bantu klien untuk mengidentifikasi kecemasannya
7.       Dukung untuk mekanisme koping secara tepat
NOC :
setelah dilakukan tindakan hemodialisis diharapkan pasien tidak mengalami:
1.       Pasien tidak mengalami hipotensi setelah tindakan
2.       Turgor kulit baik
3.       Kelelahan
4.       Malaise
5.       Anemia
6.       Edema 

NIC :
Terapi Hemodialisa
1.       Kaji tanda- tanda vital; suhu denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah
2.         Jelaskan hemodialisa dan tujuannya
3.         Periksa peralatan dan cairan sesuai prosedur
4.         Lakukan tekhnik steril untuk memulai hemodialisis, insersi jarum, dan pemasangan kateter
5.         Gunakan sarung tangan
6.         Lakukan hemodialisis sesuai prosedure
7.         Letakkan sambungan dengan pipa ditempat yang tepat
8.         Kaji tanda-tanda vital
9.         Berikan heparin,sesuai prosedur
10.      Monitor waktu pembekuan dan disesuaikan dengan pemberian heparin
11.      Sesuaikan tekanan filtrasi untuk membersihkan sejumlah cairan dengan tepat
12.      Mulai melakukan tindakan sebelum pasien mengalami hipotensi
13.      Hentikan hemodialiasis sesuai prosedur
14.      Bandingkan organ vital dengan komponen kimiawi darah pasca dialisis
15.      Berkolaborasi dengan pasien untuk meringankan ketidaknyaman akibat efek samping penyakit dan penyakit: sakit kepala, kram, kelelahan, gatal, anemia, dll)

References
Bulechek G, Howard K, Joanne M. D, C. M. . (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Indonesia: Moco Media.
Coresh, J., Turin, T. C., Matsushita, K., Sang, Y., Ballew, S. H., Appel, L. J., … Levey, A. S. (2014). Decline in estimated glomerular filtration rate and subsequent risk of end-stage renal disease and mortality. JAMA - Journal of the American Medical Association, 311(24), 2518–2531. https://doi.org/10.1001/jama.2014.6634
Inker, L. A., Schmid, C. H., Tighiouart, H., Eckfeldt, J. H., Feldman, H. I., Greene, T., … Levey, A. S. (2012). Estimating Glomerular Filtration Rate from Serum Creatinine and Cystatin C. New England Journal of Medicine, 367(1), 20–29. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1114248
Khoder, W. Y., Bader, M., Sroka, R., Stief, C., & Waidelich, R. (2014). Efficacy and safety of Ho:YAG Laser Lithotripsy for ureteroscopic removal of proximal and distal ureteral calculi. BMC Urology, 14(62), 1–7. https://doi.org/10.1186/1471-2490-14-62
Negrette-Guzmán, M., Huerta-Yepez, S., Medina-Campos, O. N., Zatarain-Barrón, Z. L., Hernández-Pando, R., Torres, I., … Pedraza-Chaverri, J. (2013). Sulforaphane attenuates gentamicin-induced nephrotoxicity: Role of mitochondrial protection. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2013(Keap 1), 1–17. https://doi.org/10.1155/2013/135314
Pearle, M. S. (2012). Shock-Wave Lithotripsy for Renal Calculi. New England Journal of Medicine, 367(1), 50–57. https://doi.org/10.1056/NEJMct1103074
Pearle, M. S., Goldfarb, D. S., Assimos, D. G., Curhan, G., Denu-Ciocca, C. J., Matlaga, B. R., … White, J. R. (2014). Medical management of kidney stones: AUA guideline. Journal of Urology. Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.juro.2014.05.006
Sardana, A., Kalra, S., Khanna, D., & Balakumar, P. (2015). Nephroprotective effect of catechin on gentamicin-induced experimental nephrotoxicity. Clinical and Experimental Nephrology, 19(2), 178–184. https://doi.org/10.1007/s10157-014-0980-3
Tavafi, M. (2012). Inhibition of gentamicin–induced renal tubular cell necrosis. Journal of Nephropathology, 1(2), 83–86. https://doi.org/10.5812/nephropathol.7512
Tavafi, M. (2013). Protection of renal tubules against gentamicin induced nephrotoxicity. Journal of Renal Injury Prevention, 2(1), 5–6. https://doi.org/10.12861/jrip.2013.03


Location: Madjene, Labuang, Banggae Tim., Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia

0 comments:

Post a Comment