a.
Definisi
dan etiologi .
Diabetes
melitus merupakan salah satu penyakit metabolik kronik yang membutuhkan
perawatan berkelanjutan disebabkan karena kelainan sekresi dan/atau kelainan
kerja insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia yang berkaitan dengan
metabolic karbohidrat, lemak, dan protein yang tidak teratur, dan dapat
menyebabkan komplikasi jangka panjang yang melibatkan sistem organ saraf,
kardiovaskular, ginjal, dan sensorik (American Diabetes
Association (ADA), 2017; McDermott, 2013). Diabetes tipe 2 merupakan keadaan terdapatnya
resistensi dan defisiensi insulin. Resistensi insulin umumnya diawali dari
kurangnya insulin yang sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama. Resistensi
ini juga dapat disebabkan oleh kecacatan sel beta yang memicu kedua penyebab
diatas. Peningkatan kadar gula darah puasa merupakan salah satu tanda adanya
resistensi insulin (McDermott, 2013).
b.
Tanda
dan gejala.
Penyakit
diabetes yang menyerang seseorang akan menimbulkan berbagai gajala yaitu gejala
akut dan kronik, (Fatimah, 2015). Gejala akut atau klasik yang meliputi poliuria
(banyak buang air kecil), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan),
dan penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya serta keluhan lain
yang dapat berupa mata kabur, kesemutan, lemah, gatal, disfungsi ereksi pada
pria, dan pruritus vulva pada wanita (Melorose, Perroy,
& Careas, 2011). Gejala diabetes melitus dapat dikuatkan dengan
adanya uji atau pemeriksaan laboratorium seperti : A1C, FPG, dan PG 2-jam
setelah 75-g OGTT, dapat juga dilakukan sendiri dengan bantuan alat pemeriksa
kadar gula darah sederhana maupun dilakukan di tempat pelayanan kesehatan,
untuk menilai penderita yang tidak menunjukkan gejala, harus mempertimbangkan
berat bdan setiap orang dewasa segala umur utamanya yang memiliki berat badan
berlebih serta memiliki satu atau lebih factor resiko diabtes (American Diabetes
Association (ADA), 2015).
a.
Infeksi.
Kadar
glukosa darah yang tinggi meningkatkan kerentanan atau memperburuk infeksi.
Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat
munculnya lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi patogen,
menurunkan produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis
dan aktifitas fagositik, serta kerusakan fungsi neutrofil, glikosuria, dan
dismotitilitas gastrointestinal dan saluran kemih. Sarana untuk pemeriksaan
penunjang harus lengkap seperti pemeriksaan kultur dan tes resistensi
antibiotic (PERKENI, 2015).
b.
Kaki
diabetis
Komplikasi
yang paling sering terjadi pada penderita diabetes adalah kaki diabetic. Dampak
dari luka kaki diabetic ini dapat mengurangi kualitas hidup pasien
c.
Diabetes dengan Nefropati Diabetik
Gagal ginjal stadium akhir paling sering disebabkan oleh nefropati
diabetic, sedangkan penderita diabetes yang mengalami nefropati sebesar 20 – 40
%.
d.
Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE).
Pasien yang
telah menderita diabetic tipe selama 10 tahun sangat beresiko mengalami
disfungsi ereksi, pada pengkajian penderita diabetic sebaiknya dilakukan
pendekatan yang cukup mendalam karena kondisi seperti akan jarang disampaikan
oleh pasien.
e.
Diabetes dengan Kehamilan.
Diabetic ini dapat dibedakan menjadi 2 : diabetes mellitus dengan
kehamilan dan diabtes mellitus gestasional. (World Health Organization, 2013).
f.
Diabetes dengan Ibadah Puasa.
Berpuasa
dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi
akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan
dehidrasi atau thrombosis.
g.
Diabetes pada Pengelolaan Perioperatif..
Tingkat
kematian perioperatif pada pasien diabetes 50% lebih tinggi dibandingkan pada
pasien tanpa diabetes
h.
Diabetes yang menggunakan steroid.
Pengobatan
pasien dengan mengunakan glukokortikoid sering menimbulkan efek samping, salah
satunya dapat memicu munculnya diabetes. Glukokortikoid memiliki efek samping
mengurangi semsitivitas insulin dalam tubuh.
i.
Diabetes dengan Penyakit Kritis.
Beberapa penyakit yang menjadi komplikasi dari penyakit DM :
Hiperglikemia, Sindrome Koroner Akut, Stroke, dan Sepsis .
Ulkus diabetikum merupakan lanjutan dari luka kaki
diabetic yang tidak tertangani dengan baik. Kaki Diabetes merupakan salah satu
komplikasi kronik diabetes dan angka kematian dan amputasi masih sangat tinggi
sehingga menjadi satu hal yang cukup menakutkan bagi para penderita diabetes (Dewi, 2007). Ulkus bisa menyebabkan kematian jaringan yang luas
karena adanya invasi kuman yang dapat menimbulkan bau khas pada ulkus, selain
itu ulkus paling sering terjadi pada daerah tungkai di akibatkan oleh
terjadinya penyempitan pembuluh darah di daerah perifer (Anik, 2013).
Luka kaki
diabetik adalah luka yang terjadi pada kaki pasien diabetes yang berhubungan
dengan gangguan pada saraf periferal dan autonomic yang sering di sebut sebagai
neuropaty (Alexiadou &
Doupis, 2012; Anik, 2013). Gangguan suplai vaskuler dapat mengakibatkan
komplikasi pada penderita kaki diabetic seperti gangrene, infeksi dan yang
paling sering adalah luka kaki (Jain, 2015).
a.
Etiologi.
Faktor
predisposisi yang menyebabkan adanya ulkus diabetikum diantaranya adalah
penderita jenis kelamin, lama menderita DM, Neuropati,
Perpheral artery Disease dan
perawatan kaki sedangkan faktor lain seperti pasien dengan latar belakang
miskin sosial ekonomi perawatan kesehatan dan tingkatan pendidikan
dikategorikan sebagai faktor resiko yang menentukan keparahan ulkus (Loviana, Rudy, &
Zulkarnain, 2015).
Penyebab
utama dari ulkus diabetikum melibatkan neuropati yang diakibatkan karena
hiperglikemia kronis dan penyakit mikrovaskuler yang menyebabkan cedera saraf.
Trauma pada kaki juga membantu proses munculnya ulkus diabetikum. Trauma dapat
terjadi karena aktivitas sehari-hariseperti berjalan dalam waktu yang lama dan
pemakaian sepatu yang tidak sesuai (Papanas &
Maltezos, 2013).
Selain
neuropati, faktor resiko yang dapat menyebabkan ulkus adalah kelainan bentuk
kaki, pergerakan tulang dan sendi yang terbatas, lama waktu seseorang menderita
diabetes melitus, gangguan penglihatan, dan gangguan ginjal dalam waktu yang
lama (Frykberg et al., 2006).
b.
Patofisiologi.
Neuropati
perifer diabetes merupakan penyebab utama ulkus diabetikum. Neuropati dapat
menutupi vasa nervorum dan disfungsi endotel mempengaruhi sensasi perifer,
persyarafan pada otot kaki dan control vasomotor pada sirkulasi kaki sehingga
menyebabkan penurunan sensoris dan motoris pada saraf yang terkena (Frykberg, 2002;
Jeffcoate & Harding, 2003). Penurunan rasa nyeri pada kaki akibat tertutupinya
vaso nervorum dapat mengakibatkan penderita mengalami trauma dan menimbulkan
gejala – gejala seperti kesemutan, rasa panas, rasa tebal pada telapak kaki,
kram dan terkadang terasa nyeri pada seluruh badan pada malam hari.(Anik, 2013)
Neuropati
perifer diabetik diakibatkan oleh perubahan degeneratif akson dan mempengaruhi
semua serabut saraf, namun pada waktu yang berbeda. Serabut saraf otonom
non-myelinated pertama-tama terpengaruh, menghasilkan autosympathectomy dengan
kalsifikasi arteri medial kimula (kalsifikasi Mönckeberg), disfungsi
termoregulasi mikrovaskular, dan penyumbatan arteriovenosa (Mendes & Neves,
2012). Sebagai efek dari penyakit dari neuropati, kaki akan
menjadi tidak sensitive secara klinis dan beresiko mengalami cedera.
Penyakit
Arteri Perifer (PAD) pada penyakit diabetic diakibatkan oleh adanya penyumbatan
arteri perifer atau aterosklerosis dan obliteratif pada pembuluh darah besar
dan bukan penyakit mikrovaskular yang mengakibatkan penyempitan luman arteri (Decroli, 2015). Pembuluh darah yang mengalami penyempitan adalah
pembuluh darah yang berada jauh dari jantung paling sering adalah kaki, adapun
tanda dan gejala yang paling sering muncul adalah nyeri dan sensasi lelah pada otot tungkai tapi
dapat hilang jika penderita istirahat dan akan muncul kembali jika penderita
melakukan aktivitas fisik. Penyempitan arteri ini bisa juga menyerang tungkai
atas, maka gejala yang muncul adalah nyeri dan jari-jari yang membiru yang menandakan
kurangnya suplai darah ke jaringan perifer sehingga asupan nutrisi dan oksigen
akan terganggu yang berakibat jaringan mudah mengalami ganggren (Anik, 2013; Decroli,
2015)
Infeksi
adalah peristiwa masuknya mikroorganisme dalam jumlah yang cukup dan terjadinya
pertumbuhan mikroorganisme tersebut di dalam tubuh sehingga menimbulkan gejala
akibat adanya respon dari host baik local maupun sistemik (Swanson et al., 2016). Infeksi sistemik pada luka dapat mempengaruhi
penyembuhan luka karena infeksi sistemik akan menimbulkan pireksia sehingga
terjadi peningkatan metabolisme tubuh akibatnya dapat terjadi kerusakan
jaringan jika tidak segera ditangani (Dealey, 2008). Penderita
ulkus diabetikum sangat rentan terkena infeksi karena bakteri dapat berkembang
dengan cepat pada luka yang didukung oleh gula darah yang tinggi.
Klasifikasi dan tingkat keparahan infeksi
kaki diabetic (Chadwick et al., 2014)
Kriteria klinis
|
Tingkat / tingkat keparahan
|
Tidak ada tanda klinis infeksi
|
Grade 1 / tidak terinfeksi
|
Lesi jaringan superfisial dengan setidaknya dua
dari berikut ini
tanda-tanda:
-
kehangatan local.
-
Eritema> 0,5-2 cm di sekitar ulkus.
-
Rasa nyeri / nyeri local.
-
Bengkak / indurasi local.
-
Purulen discharge.
Penyebab lain dari peradangan pada kulit harus
dikeluarkan
|
Kelas 2 / ringan
|
Eritema> 2 cm dan satu dari temuan di atas
atau:
-
Infeksi yang melibatkan struktur di bawah kulit /
jaringan subkutan (misalnya abses dalam, limfangitis, osteomielitis, septic
arthritis atau fascitis).
-
Tidak ada respons inflamasi sistemik (lihat Kelas
4)
|
Kelas 3 / sedang
|
Kehadiran tanda-tanda sistemik dengan setidaknya
dua dari berikut ini:
-
Suhu> 39 ° C atau <36 ° C.
-
Pulse> 90bpm.
-
Tingkat pernapasan> 20 / menit.
-
PaCO2 <32mmHg.
-
Sel putih menghitung 12.000 mm3 atau <4.000
mm3.
-
10% leukosit belum matang
|
Grade 4 / parah
|
REFERENCES
Alexiadou, K.,
& Doupis, J. (2012). Management of diabetic foot ulcers. Diabetes
Therapy, 3(1), 1–15. https://doi.org/10.1007/s13300-012-0004-9
American
Diabetes Association (ADA). (2015). Classification and diagnosis of diabetes. Diabetes
Care, 38(January), S8–S16. https://doi.org/10.2337/dc15-S005
American
Diabetes Association (ADA). (2017). Standard of medical care in diabetes -
2017. Diabetes Care, 40 (sup 1)(January), s4–s128.
https://doi.org/10.2337/dc17-S001
Anik, M.
(2013). Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare) Terkini dan Terlengkap.
Jakarta: IN MEDIA.
Chadwick, P.,
Edmonds, M., MsCardle, J., Armstrong, D., Apelqvist, J., Botros, M., … Tulley,
S. (2014). Best Practice Guidelines: Wound Management in Diabetic Foot Ulcers. Wounds
International, 5(2), 27. https://doi.org/10.17957/TPMJ/17.3507
Dealey, C.
(2008). The Care of Wounds: A Guide for Nurses, Third Edition. The
Care of Wounds: A Guide for Nurses, Third Edition.
https://doi.org/10.1002/9780470774946
Decroli, E.
(2015). Laporan Kasus Iskemia pada Jari Tangan Penderita Diabetes Melitus :
Suatu Keadaan Peripheral Arterial Disease, 4(2), 654–658.
Dewi, A.
(2007). Hubungan Aspek-aspek Perawatan Kaki Diabetes dengan Kejadian Ulkus Kaki
Diabetes pada Pasien Diabetes Mellitus The Correlation of Aspects of Diabetic
Foot Care with the Occurrence of Diabetic Foot Ulcer in Patients with Diabetes
Mellitus. Mutiara Medika, 7, 13–21.
Fatimah, R. N.
(2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
4, 93–101. https://doi.org/10.2337/dc12-0698
Frykberg, R.
G. (2002). Diabetic foot ulcers: Pathogenesis and management. American
Family Physician, 66(9), 1655–1662.
Frykberg, R.
G., Zgonis, T., Armstrong, D. G., Driver, V. R., Giurini, J. M., Kravitz, S.
R., … American College of Foot and Ankle Surgeons. (2006). Diabetic foot
disorders. A clinical practice guideline (2006 revision). The Journal of
Foot and Ankle Surgery : Official Publication of the American College of Foot
and Ankle Surgeons, 45(5 Suppl), S1-66. https://doi.org/10.1016/S1067-2516(07)60001-5
Jain, A.
(2015). A Simple New Classification for Diabetic Foot Ulcers. Medicine
Science | International Medical Journal, 4(2), 2109.
https://doi.org/10.5455/medscience.2014.03.8215
Jeffcoate, W.
J., & Harding, K. G. (2003). Diabetic foot ulcers. The Lancet, 361,
1545–1551. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(03)13169-8
Loviana, R.
R., Rudy, A., & Zulkarnain, E. (2015). Artikel Penelitian Faktor Risiko
Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan
dan Inap di RSUP Dr . M . Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 243–248.
McDermott, M.
T. (2013). Endocrine secrets. Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Melorose, J.,
Perroy, R., & Careas, S. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Statewide Agricultural Land Use
Baseline 2015, 1, 3–7. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Mendes, J. J.,
& Neves, J. (2012). Diabetic Foot Infections: Current Diagnosis and Treatment.
Journal of Diabetic Foot Complications, 4(2), 26–45.
Papanas, N.,
& Maltezos, E. (2013). Etiology, pathophysiology and classifications of the
diabetic Charcot foot. Diabetic Foot and Ankle, 4, 1–5.
https://doi.org/10.3402/dfa.v4i0.20872
PERKENI, P. E.
I. (2015). Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia
2015.
Swanson, T.,
Angel, D., Sussman, G., Cooper, R., Haesler, E., Ousey, K., … Call, E. (2016).
Wound Infection in Clinical Practice. Wounds International, 5(s3),
iii-11. https://doi.org/10.1111/j.1742-481X.2008.00488.x
World Health
Organization. (2013). Diagnostic Criteria and Classification of Hyperglycaemia
First Detected in Pregnancy. World Health Organization, 1–63.
https://doi.org/10.1016/j.diabres.2013.10.012
0 comments:
Post a Comment