TINJAUAN PUSTAKA
A.
Batu
Ginjal
Batu ginjal (
nefrolitiasis ) merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya
adalah pembentukan batu di dalam ginjal (Sjamsuhidrajat, 2004) dan merupakan salah satu penyakit yang paling umum dimana hampir
satu dari tiga belas wanita dan satu dari tujuh pria dari warga kaukasia
diketahui menderitanya. Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden
tertinggi penderita batu saluran kemih yang ditemukan diberbagai negara di
Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara berkembang penyakit batu ini
masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja,
dan Mesir (Sjamsuhidrajat, 2004). Peningkatan
terjadi pada semua kelompok usia, namun sebagian besar berada antara 60 – 74
tahun (Moudi, Hosseini, & Bijani,
2016).
Gambar. Ilustrasi batu
ginjal
Dalam penelitian (Sigurjonsdottir, Runolfsdottir,
Indridason, Palsson, & Edvardsson, 2015) menjelaskan bahwa penyakit
batu ginjal ( nefrolitiasis ) dikaitkan
dengan penyakit ginjal kronik yang sekitar 2 sampai 3 % adalah kasus
penyakit ginjal stadium akhir. Nefrolitiasis dapat dibagi :
1.
Nefrolitiasis kalsik
adalah tipe yang yang paling sering dengan perawatan medis berupa pengaturan
diet sederhana seperti asupan kalsium 1
gram perhari, natrium 6 sampai 7 gram perhari, protein 1 gram / kg berat badan
perhari dan menghindari makanan yang kaya oksalat.
2.
Nefrolitiasis asam
berhubungan dengan hyperdiuresis basa, hal ini dapat dilihat dengan melakukan pemeriksaan urin 24 jam
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya
dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
Secara epidemiologik terdapat beberapa faktor yang mempermudah terbentuknya
batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik
yaitu keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik
yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya (Purnomo, 2009).
Faktor intrinsik antara lain :
1.
Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan
dari orang tuanya.
2.
Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia
30-50 tahun
3.
Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali
lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
1.
Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka
kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga
dikenal sebagai daerah stonebelt.
2.
Iklim dan temperatur
3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar
mineral kalsium pada air yang dikonsumsi.
4.
Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium
mempermudah terjadinya batu.
5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang
yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atausedentary life (Purnomo, 2009).
Selain
kelainan multifaktor seperti lingkungan dan genetik, Obesitas sangat
mempengaruhi terjadinya penyakit batu ginjal, hal ini disebabkan oleh karena
ukuran tubuh yang lebih besar menyebabkan peningkatan ekskresi kalsium,
oksalat, dan asam urat. alkali dapat mengurangi
kelarutan produk kalsium fosfat, sedangkan pH urin asam mendorong pembentukan
asam urat atau batu yang mengandung sistein. Asam urat merupakan prediktor
independen untuk perkembangan pada nefropati IgA yang meningkat dengan mengurangi
laju filtrasi glomerulus dan memprediksi perkembangan insufisiensi ginjal pada
individu dengan fungsi ginjal normal.(Moudi et al., 2016).
Faktor
lain resiko terjadinya batu ginjal juga dipengaruhi oleh diet dalam metabolik dimana metabolisme
asam basa ginjal dan produksi amonia serta kekurangan ekskresi mempengaruhi
resitensi insulin dan metabolisme glukosa. Kelainan biokimia urin juga dapat
meningkatkan kecebderungan pembenukan batu ginjal pada pasien yang obesitas. pH
urin yang rendah dan kalsium urin yang tinggi
juga mempengaruhi proses pembentukan batu ginjal selain asam urat dan
ekskresi oksalat pada pasien yang obesitas (Shavit et al., 2015).
Efek batu pada saluran kemih
dipengaruhi oleh ukuran dan letak batu, biasanya menentukan perubahan
patologis yang terjadi pada traktus urinarius :
1. Pada ginjal
yang terkena
a.
Obstruksi
b.
Infeksi
c.
Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
d.
Iskemia parenkim.
e.
Metaplasia
2. Pada ginjal
yang berlawanan
a.
Compensatory hypertrophy
b.
Dapat menjadi bilateral
Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai
dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi.
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain
(Sjamsuhidrajat, 2004) :
1. Tidak ada
gejala atau tanda
2. Nyeri
pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
3. Hematuria
makroskopik atau mikroskopik
4. Pielonefritis
dan/atau sistitis
5. Pernah
mengeluarkan baru kecil ketika kencing
6. Nyeri tekan
kostovertebral
7. Batu tampak
pada pemeriksaan pencitraan
8. Gangguan
faal ginjal.
B.
Pengkajian
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menegakkan diagnosis, penyakit batu ginjal perlu didukung dengan pemeriksaan
radiologi, laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya
obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Anamnesa harus
dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai onset
kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat
bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria,
dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu
sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama (Tanagho & McAninch, 2004).
Pada pemeriksaan fisik diperoleh data :
1.
Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat
disertai takikardi, berkeringat, dan nausea.
2.
Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita
dengan obstruksi berat atau dengan hidronefrosis.
3.
Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra,
tanda gagal ginjal dan retensi urin.
Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat
ditemukan pada pasien dengan urosepsis (Tanagho & McAninch, 2004;
Purnomo,2003).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen.
Sifat radiopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini
dapat diduga batu dari jenis apa yang ditemukan. Radiolusen umumnya adalah
jenis batu asam urat murni. Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos
sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada
keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan bayangan tulang, sehingga
dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering perlu ditambah
foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan
kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di tempat batu
berada. Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak
berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perludilakukan
pielografi retrograd (Purnomo, 2003).
Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak
mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan; alergi terhadap
bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil (Purnomo, 2003). Pemeriksaan
USG dapat untuk melihat semua jenis batu, selain itu dapat ditentukan ruang/
lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini juga dipakai unutk menentukan batu selama
tindakan pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu (Sjamsuhidrajat, 2004).
2. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari
kelainan kemih yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan
fungsi ginjal, dan menentukan penyebab batu (Sjamsuhidrajat, 2004).
D.
Penatalaksanaan
1.
Terapi medis
Terapi medis
berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi simtomatik
berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum yang
berlebihan/ banyak dan pemberian diuretik.
2.
Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan
nefroskopi perkutan untuk membawa tranduser melalui sonde kebatu yang ada di
ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi. Salah satu alternatif tindakan yang
paling sering dilakukan adalah ESWL. ESWL (Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan batu ginjal dari
luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.
3.
Tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat
litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila cara non-bedah tidak berhasil
(Sjamsuhidrajat, 2004).
E.
Hemodialisa
Hemodialisis merupakan suatu proses
terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel
(dialiser) yang dapat berfungsi mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien penyakit
ginjal kronik (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2015). Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis”
artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan
darah dari zat-zat racun, melalui proses penyaringan diluar tubuh karena ginjal
tidak mampu lagi membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh. Hemodialisis
menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara
awam dengan istilah ‘cuci darah’.
Hemodialisis merupakan salah satu
cara untuk mengganti fungsi ginjal yang rusak selain teknik peritoneal dialysis
dan transplantasi ginjal. Diprediksikan pada tahun 2019 akan ditemukan sekitar
100.000 pasien (400/juta penduduk) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
Hemodialisis dilakukan bila ginjal sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya atau
biasa disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal
ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk sementara waktu sehingga
hemodialisis dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan gagal ginjal
kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisis harus
dilakukan seumur hidupnya. Hemodialisis dilakukan untuk
menggantikan fungsi ekskresi ginjal sehingga tidak dapat terjadi gejala uremia
yang lebih berat.
Pada pasien penyakit ginjal kronik
dengan fungsi ginjal minimal terapi hemodialisis dilakukan untuk dapat mencegah
komplikasi yang membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (PERNEFRI, 2011). Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari
cairan berlebih, zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal
juga berfungsi menghasilkan hormon yang penting dalam proses metabolisme tubuh
dan merangsang pembentuk sel darah merah. Jika ginjal ini rusak maka bisa
dibayangkan bahayanya bagi tubuh kita bahkan bisa menyebabkan kematian akibat
menumpuknya cairan dan zat berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisis
harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut. Rata-rata tiap orang
memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam seminggu untuk proses hemodialisis, tetapi
karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya akan dibagi menjadi tiga
kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali hemodialisis. Tentu
saja ini tidak sama untuk tiap orang, lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa
kali dalam seminggu harus dilakukan hemodialisis sangat tergantung pada derajat
kerusakan ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertai, ukuran tubuh dan
lain hal. Karena itu penting untuk konsultasi secara teratur mengenai jadwal
hemodialisis yang diperlukan.
Dialisis akibat nefropati diabetik
merupakan suatu Tindakan yang dilakukan akibat komplikasi pada penderita
diabetes malitus. Pencegahan sejak dini dapat dilakukan dengan melalui
pencegahan obesitas dan gaya hidup.
Diperkirakan jumlah penderita diabetes
dan jumlah orang yang menjalani dialisis karena nefropati diabetik sampai tahun
2035. (Sugiyama, Goryoda, Inoue,
Sugiyama-Ihana, & Nishi, 2017). Kondisi yang dapat mengindikasikan untuk pelaksanaan
hemodialisa, adalah :
- Uremia :
kondisi pasien dengan tingkat sisa metabolisme ureum dalam tubuh yang
sangat tinggi dengan gejala mual, muntah, penurunan kesadaran dan
kejang-kejang.
- Asidosis
metabolik berat : kondisi pasien dimana pH darah yang sangat rendah dan
tidak dapat dikoreksi dengan obat-obatan
- Intoksikasi
: kondisi keracunan, dilakukan hemodialisis untuk membantu menurunkan
tingkat keparahan.
- Gangguan
elektrolit :pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi gangguan elektrolit
dalam tubuh utamanya kelebihan kalium yang bisa menyebabkan gangguan
jantung.
- Overload : terjadi penumpukan cairan dalam tubuh sehingga pasien mengalami sesak yang hebat.
Kejadian
cedera ginjal akut merupakan masaah utama, dimana sekitar 13 juta pertahun
mengalaminya dan 85% terjadi pada negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah. Perawatan yang profesional dengan memberikan pengetahuan serta
mengontrol dan mencegah faktor resiko. Adapun langkah langkah yang sederhana
dapat dilakukan seperti: monitoring output, mengobati dan mencegah infeksi,
mengontrol diabetes dan hipertensi. (Coral Hulse, 2017). Adapun hal-hal yang dapat terjadi selama proses dialisis, adalah
:
1.
Hipotensi : ini paling sering pada
pasien gagal ginjal dengan diabetes mellitus atau kencing manis tapi seiring
dengan kemajuan teknologi, resiko ini semakin berkurang.
2.
Kram otot : dahulu hal ini sering
terjadi tetapi dengan mesin dialysis sekarang angka kejadiannya berkurang.
3.
Reaksi anafilaktik atau alergi
terhadap cairan dialysate : biasanya ini terjadi pada hemodialisis pertama
kalinya tapi akan berkurang seiring seringnya hemodialisis dilakukan.
4.
Selain itu perasaan mual,
mengantuk, lelah, pusing, dan dingin selama proses hemodialisis dilakukan.
Beritahukanlah pada staf yang bertugas agar mereka dapat membantu anda merasa
lebih baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan pasien
selama menjalani hemodialisa, adalah :
- Melakukan hemodialisis secara
teratur dan sesuai jadwal agar tercapai hasil yang maksimal.
- Lakukan kontrol secara
teratur dengan dokter yang menangani.
- Melakukan pengontrolan yang
ketat terhadap penyakit lain yang menyertai keadaan gagal ginjal misalnya
kontrol gula darah pada diabetes, kontrol tekanan darah pada hipertensi
dan kontrol lainnya.
- Melakukan transfusi darah
atau Recombinant human erythropoietin (EPO) untuk mengatasi anemia yang
terjadi karena hemodialisis tidak bisa menggantikan fungsi ginjal dalam
menghasilkan hormon yang merangsang pembentukkan sel darah merah.
- Waspadalah dan segera
konsultasikan pada unit pelayanan kesehatan terdekat bila mengalami :
a. Bengkak pada seluruh tubuh
b. Tekanan darah yang tinggi
c.
Rasa lelah yang berlebihan dan
tubuh terasa sangat lemas
d. Insomnia atau sulit tidur di malam hari
e.
Mual dan muntah yang hebat
f.
Rasa gatal pada seluruh tubuh
tanpa sebab yang jelas
g.
Kejang berulang atau kram pada
otot terutama otot kaki.
h. Kesadaran yang menurun
References
Coral Hulse, A. D. (2017). Knowledge of Nurses in the Early
Detection and Management Acute Kidney Injury In A Selected Hospital Rwanda.
LeMone,
P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Gangguan Eliminasi Gangguan Kardiovaskular. (A. Linda, Ed.) (5th
ed.). Jakarta: EGC.
Moudi,
E., Hosseini, S. R., & Bijani, A. (2016). Nephrolithiasis In Elderly
Population; Effect Of Demographic Characteristics. Journal of
Nephropathology, 6(2), 63–68. https://doi.org/10.15171/jnp.2017.11
PERNEFRI.
(2011). 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011 4 th Report Of Indonesian
Renal Registry 2011, 13–15.
Shavit,
L., Ferraro, P. M., Johri, N., Robertson, W., Walsh, S. B., Moochhala, S.,
& Unwin, R. (2015). Effect Of Being Overweight On Urinary Metabolic Risk
Factors For Kidney Stone Formation. Nephrology Dialysis Transplantation,
30(4), 607–613. https://doi.org/10.1093/ndt/gfu350
Sigurjonsdottir,
V. K., Runolfsdottir, H. L., Indridason, O. S., Palsson, R., & Edvardsson,
V. O. (2015). Impact of nephrolithiasis on kidney function. BMC Nephrology,
16(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s12882-015-0126-1
Sugiyama,
T., Goryoda, S., Inoue, K., Sugiyama-Ihana, N., & Nishi, N. (2017). Construction
of a simulation model and evaluation of the effect of potential interventions
on the incidence of diabetes and initiation of dialysis due to diabetic
nephropathy in Japan. BMC Health Services Research, 17(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s12913-017-2784-0
0 comments:
Post a Comment