Sunday, April 19, 2020

TINJAUAN TEORI HEMODIALISA


TINJAUAN PUSTAKA

A.    Batu Ginjal
Batu ginjal ( nefrolitiasis ) merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya adalah pembentukan batu di dalam ginjal (Sjamsuhidrajat, 2004) dan merupakan salah satu penyakit yang paling umum dimana hampir satu dari tiga belas wanita dan satu dari tujuh pria dari warga kaukasia diketahui menderitanya. Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir (Sjamsuhidrajat, 2004). Peningkatan terjadi pada semua kelompok usia, namun sebagian besar berada antara 60 – 74 tahun (Moudi, Hosseini, & Bijani, 2016).

Gambar. Ilustrasi batu ginjal
Dalam penelitian (Sigurjonsdottir, Runolfsdottir, Indridason, Palsson, & Edvardsson, 2015) menjelaskan bahwa  penyakit batu ginjal ( nefrolitiasis ) dikaitkan  dengan penyakit ginjal kronik yang sekitar 2 sampai 3 % adalah kasus penyakit ginjal stadium akhir. Nefrolitiasis dapat dibagi :
1.      Nefrolitiasis kalsik adalah tipe yang yang paling sering dengan perawatan medis berupa pengaturan diet sederhana seperti asupan kalsium  1 gram perhari, natrium 6 sampai 7 gram perhari, protein 1 gram / kg berat badan perhari dan menghindari makanan yang kaya oksalat.
2.      Nefrolitiasis asam berhubungan dengan hyperdiuresis basa, hal ini dapat dilihat  dengan melakukan pemeriksaan urin 24 jam

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologik terdapat beberapa faktor yang mempermudah terbentuknya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya (Purnomo, 2009).
Faktor intrinsik antara lain :
1.      Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2.      Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3.      Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
1.      Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stonebelt.
2.      Iklim dan temperatur
3.    Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi.
4.      Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu.
5.    Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atausedentary life (Purnomo, 2009).
Selain kelainan multifaktor seperti lingkungan dan genetik, Obesitas sangat mempengaruhi terjadinya penyakit batu ginjal, hal ini disebabkan oleh karena ukuran tubuh yang lebih besar menyebabkan peningkatan ekskresi kalsium, oksalat, dan asam urat. alkali dapat mengurangi kelarutan produk kalsium fosfat, sedangkan pH urin asam mendorong pembentukan asam urat atau batu yang mengandung sistein. Asam urat merupakan prediktor independen untuk perkembangan pada nefropati IgA yang meningkat dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus dan memprediksi perkembangan insufisiensi ginjal pada individu dengan fungsi ginjal normal.(Moudi et al., 2016).
Faktor lain resiko terjadinya batu ginjal juga dipengaruhi  oleh diet dalam metabolik dimana metabolisme asam basa ginjal dan produksi amonia serta kekurangan ekskresi mempengaruhi resitensi insulin dan metabolisme glukosa. Kelainan biokimia urin juga dapat meningkatkan kecebderungan pembenukan batu ginjal pada pasien yang obesitas. pH urin yang rendah dan kalsium urin yang tinggi  juga mempengaruhi proses pembentukan batu ginjal selain asam urat dan ekskresi oksalat pada pasien yang obesitas (Shavit et al., 2015).
Efek batu pada saluran kemih dipengaruhi oleh ukuran dan letak batu, biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada traktus urinarius :
1.      Pada ginjal yang terkena
a.       Obstruksi
b.       Infeksi
c.        Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
d.       Iskemia parenkim.
e.        Metaplasia
2.      Pada ginjal yang berlawanan
a.       Compensatory hypertrophy
b.       Dapat menjadi bilateral
Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain (Sjamsuhidrajat, 2004) : 
1.      Tidak ada gejala atau tanda
2.      Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
3.      Hematuria makroskopik atau mikroskopik
4.      Pielonefritis dan/atau sistitis
5.      Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing
6.      Nyeri tekan kostovertebral
7.      Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan
8.      Gangguan faal ginjal.
B.     Pengkajian
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis, penyakit batu ginjal perlu didukung dengan pemeriksaan radiologi, laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama (Tanagho & McAninch, 2004). Pada pemeriksaan fisik diperoleh data :
1.       Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai takikardi, berkeringat, dan nausea.
2.       Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita dengan obstruksi berat atau dengan hidronefrosis.
3.       Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, tanda gagal ginjal dan retensi urin.
Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat ditemukan pada pasien dengan urosepsis (Tanagho & McAninch, 2004; Purnomo,2003).
C. Pemeriksaan Penunjang
1.      Radiologi
Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen. Sifat radiopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari jenis apa yang ditemukan. Radiolusen umumnya adalah jenis batu asam urat murni. Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering perlu ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di tempat batu berada. Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perludilakukan pielografi retrograd (Purnomo, 2003).
Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan; alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil (Purnomo, 2003). Pemeriksaan USG dapat untuk melihat semua jenis batu, selain itu dapat ditentukan ruang/ lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini juga dipakai unutk menentukan batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu (Sjamsuhidrajat, 2004).
2.      Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan penyebab batu (Sjamsuhidrajat, 2004).
D.    Penatalaksanaan
1.      Terapi medis
Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi simtomatik berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum yang berlebihan/ banyak dan pemberian diuretik.
            2.      Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa tranduser melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi. Salah satu alternatif tindakan yang paling sering dilakukan adalah ESWL. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan batu ginjal dari luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.
           3.      Tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila cara non-bedah tidak berhasil (Sjamsuhidrajat, 2004).

E.     Hemodialisa
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser) yang dapat berfungsi mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien penyakit ginjal kronik (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2015). Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis” artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat racun, melalui proses penyaringan diluar tubuh karena ginjal tidak mampu lagi membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah’.
Hemodialisis merupakan salah satu cara untuk mengganti fungsi ginjal yang rusak selain teknik peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal. Diprediksikan pada tahun 2019 akan ditemukan sekitar 100.000 pasien (400/juta penduduk) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Hemodialisis dilakukan bila ginjal sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk sementara waktu sehingga hemodialisis dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan gagal ginjal kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisis harus dilakukan seumur hidupnya. Hemodialisis dilakukan untuk menggantikan fungsi ekskresi ginjal sehingga tidak dapat terjadi gejala uremia yang lebih berat.
Pada pasien penyakit ginjal kronik dengan fungsi ginjal minimal terapi hemodialisis dilakukan untuk dapat mencegah komplikasi yang membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (PERNEFRI, 2011). Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari cairan berlebih, zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal juga berfungsi menghasilkan hormon yang penting dalam proses metabolisme tubuh dan merangsang pembentuk sel darah merah. Jika ginjal ini rusak maka bisa dibayangkan bahayanya bagi tubuh kita bahkan bisa menyebabkan kematian akibat menumpuknya cairan dan zat berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisis harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut. Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam seminggu untuk proses hemodialisis, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali hemodialisis. Tentu saja ini tidak sama untuk tiap orang, lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali dalam seminggu harus dilakukan hemodialisis sangat tergantung pada derajat kerusakan ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertai, ukuran tubuh dan lain hal. Karena itu penting untuk konsultasi secara teratur mengenai jadwal hemodialisis yang diperlukan.
Dialisis akibat nefropati diabetik merupakan suatu Tindakan yang dilakukan akibat komplikasi pada penderita diabetes malitus. Pencegahan sejak dini dapat dilakukan dengan melalui pencegahan obesitas dan gaya hidup. Diperkirakan  jumlah penderita diabetes dan jumlah orang yang menjalani dialisis karena nefropati diabetik sampai tahun 2035. (Sugiyama, Goryoda, Inoue, Sugiyama-Ihana, & Nishi, 2017). Kondisi yang dapat mengindikasikan untuk pelaksanaan hemodialisa, adalah :
  1. Uremia : kondisi pasien dengan tingkat sisa metabolisme ureum dalam tubuh yang sangat tinggi dengan gejala mual, muntah, penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
  2. Asidosis metabolik berat : kondisi pasien dimana pH darah yang sangat rendah dan tidak dapat dikoreksi dengan obat-obatan
  3. Intoksikasi : kondisi keracunan, dilakukan hemodialisis untuk membantu menurunkan tingkat keparahan.
  4. Gangguan elektrolit :pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi gangguan elektrolit dalam tubuh utamanya kelebihan kalium yang bisa menyebabkan gangguan jantung.
  5. Overload : terjadi penumpukan cairan dalam tubuh sehingga pasien mengalami sesak yang hebat.
Kejadian cedera ginjal akut merupakan masaah utama, dimana sekitar 13 juta pertahun mengalaminya dan 85% terjadi pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Perawatan yang profesional dengan memberikan pengetahuan serta mengontrol dan mencegah faktor resiko. Adapun langkah langkah yang sederhana dapat dilakukan seperti: monitoring output, mengobati dan mencegah infeksi, mengontrol diabetes dan hipertensi. (Coral Hulse, 2017). Adapun hal-hal yang dapat terjadi selama proses dialisis, adalah :
1.      Hipotensi : ini paling sering pada pasien gagal ginjal dengan diabetes mellitus atau kencing manis tapi seiring dengan kemajuan teknologi, resiko ini semakin berkurang.
2.      Kram otot : dahulu hal ini sering terjadi tetapi dengan mesin dialysis sekarang angka kejadiannya berkurang.
3.      Reaksi anafilaktik atau alergi terhadap cairan dialysate : biasanya ini terjadi pada hemodialisis pertama kalinya tapi akan berkurang seiring seringnya hemodialisis dilakukan.
4.      Selain itu perasaan mual, mengantuk, lelah, pusing, dan dingin selama proses hemodialisis dilakukan. Beritahukanlah pada staf yang bertugas agar mereka dapat membantu anda merasa lebih baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan pasien selama menjalani hemodialisa, adalah :
  1. Melakukan hemodialisis secara teratur dan sesuai jadwal agar tercapai hasil yang maksimal.
  2. Lakukan kontrol secara teratur dengan dokter yang menangani.
  3. Melakukan pengontrolan yang ketat terhadap penyakit lain yang menyertai keadaan gagal ginjal misalnya kontrol gula darah pada diabetes, kontrol tekanan darah pada hipertensi dan kontrol lainnya.
  4. Melakukan transfusi darah atau Recombinant human erythropoietin (EPO) untuk mengatasi anemia yang terjadi karena hemodialisis tidak bisa menggantikan fungsi ginjal dalam menghasilkan hormon yang merangsang pembentukkan sel darah merah.
  5. Waspadalah dan segera konsultasikan pada unit pelayanan kesehatan terdekat bila mengalami :
a.       Bengkak pada seluruh tubuh
b.       Tekanan darah yang tinggi
c.        Rasa lelah yang berlebihan dan tubuh terasa sangat lemas
d.       Insomnia atau sulit tidur di malam hari
e.        Mual dan muntah yang hebat
f.        Rasa gatal pada seluruh tubuh tanpa sebab yang jelas
g.        Kejang berulang atau kram pada otot terutama otot kaki.
h.       Kesadaran yang menurun
References
Coral Hulse, A. D. (2017). Knowledge of Nurses in the Early Detection and Management Acute Kidney Injury In A Selected Hospital Rwanda.
LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Eliminasi Gangguan Kardiovaskular. (A. Linda, Ed.) (5th ed.). Jakarta: EGC.
Moudi, E., Hosseini, S. R., & Bijani, A. (2016). Nephrolithiasis In Elderly Population; Effect Of Demographic Characteristics. Journal of Nephropathology, 6(2), 63–68. https://doi.org/10.15171/jnp.2017.11
PERNEFRI. (2011). 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011, 13–15.
Shavit, L., Ferraro, P. M., Johri, N., Robertson, W., Walsh, S. B., Moochhala, S., & Unwin, R. (2015). Effect Of Being Overweight On Urinary Metabolic Risk Factors For Kidney Stone Formation. Nephrology Dialysis Transplantation, 30(4), 607–613. https://doi.org/10.1093/ndt/gfu350
Sigurjonsdottir, V. K., Runolfsdottir, H. L., Indridason, O. S., Palsson, R., & Edvardsson, V. O. (2015). Impact of nephrolithiasis on kidney function. BMC Nephrology, 16(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s12882-015-0126-1
Sugiyama, T., Goryoda, S., Inoue, K., Sugiyama-Ihana, N., & Nishi, N. (2017). Construction of a simulation model and evaluation of the effect of potential interventions on the incidence of diabetes and initiation of dialysis due to diabetic nephropathy in Japan. BMC Health Services Research, 17(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12913-017-2784-0


Location: Madjene, Labuang, Banggae Tim., Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia

0 comments:

Post a Comment